Istana Karang (Foto:Fazzahra Dwi Cia) |
Penulis : Sastra Bekty (Peserta KKNMS Kelompok 7)
Perjalanan menelusuri Asal Usul Suku Tamiang masih terus berlanjut. Semakin diulas semakin membuat penasaran karena ternyata kisah kerajaan Tamiang ini memiliki keterkaitan dengan berbagai literatur kuno lainnya. Salah satu catatan tentang Tamiang terukir dalam sebuah prasasti Sriwijaya. Dalam buku Wei Pei Shih mencatat nama sebuah negeri Kan Pei Chiang (Tamiang) dan dalam syair 13 buku Negarkertagama disebut dengan nama Tumihang.
Cikal bakal Kerajaan Tamiang berasal dari Raja dari kerajaan Bukit Karang Tan Penok yang tidak memiliki putra. Tan Penok memiliki hobi berburu kehutan. Ketika berburu kehutan Raja Tan Penok menemukan seorang bayi di antara pucuk bambu muda (rebung). Anak tersebut dijadikan putra angkat oleh Tan penoh dengan nama Pucook Suloh. Pucook berarti pucuk sedangkan suloh adalah bambu dengan api di ujungnya biasanya digunakan sebagai alat penerangan. Terjadi keanehan pada peristiwa penemuan Pucook Suloh didalam rumpun bambu. Menurut kebiasaan bambu memiliki bulu-bulu halus pada batangnya yang dapat menyebabkan gatal. Namun ternyata hal ini tidak berlaku bagi pucook suloh, meskipun Pucok Suloh di temukan di dalam rumpun bambu, namun Pucok Suloh tidak mengalami rasa gatal sedikitpun. Sejak saat itu melekat nama temiyang pada Pucook Suloh. Temiyang itu berasal dari dua kata yaitu te dan miyang, te artinya tidak, miyang artinya gatal jadi te-miyang berarti tidak gatal.
Pada tahun 1190 Raja Tan Penok mangkat, Karena Tan Penok tidak memiliki putra maka Pucook Suloh diangkat menjadi raja dengan gelar “Pucook Suloh Raja Temiyang” Kisah inilah yang di percaya oleh perkauman etnis Tamiang sebagai cikal bakal asal kata Tamiang yang sampai saat ini Kata tamiang melekat menjadi nama suku dan nama daerah yaitu Aceh Tamiang.
Kerajaan Tamiang Berada pada fase Kerajaan Tamiang yang dipercaya di mulai tahun 1190-1256, dipimpin oleh Raja Pertamanya yaitu Pucook Suloh. Konon Pucook Suloh yang di temukan oleh raja Tan Penok didalam rumpun bambu diduga keturunan Meurah dari kerajaan Peureulak keturunan Sultan Malek Syah (Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Maliksyah) bernama Meurah Gajah. Pada masa pemerintahan Raja pucook Suloh Kerajaan Tamiang banyak mengalami perkembangan dan setelah Raja Pucook Suloh wafat beliau dimakamkan di pinggir sungai siluman yang tidak jauh dari mengalirnya sungai besar Sulum.
Kerajaan Tamiang, sejarahnya dipenuhi kisah heroik dan peralihan kekuasaan. Raja Pucook Suloh yang bijaksana, meninggalkan tahtanya kepada sang putra yang bernama Po Pala, yang kemudian dikenal sebagai Raja Pepala. Pemerintahannya berlangsung dari tahun 1256 hingga 1258. Setelah wafat, Raja Pepala dimakamkan di desa Lubuk Fika, dekat Tanjung Gelumpang, kini bagian dari kecamatan Karang Baru.
Kerajaan Tamiang kemudian dipimpin oleh raja selanjutnya yaitu putra Po Pala, yang bergelar Po Dewangga. Ia memerintah dari tahun 1278 hingga 1300. Setelah wafat, jasadnya dimakamkan di daerah Aye Mati Sekajang. Sayangnya, catatan sejarah yang mendetail tentang pemerintahan raja-raja Tamiang ini sangat minim, hanya silsilah yang tersimpan hingga kini.
Sepeninggal Po Dewangga, tahtanya diwariskan kepada putranya, Po Dinok, yang juga dikenal sebagai Po Hiang. Masa pemerintahannya dari tahun 1300 hingga 1330 ditandai dengan peristiwa besar, yaitu terjadinya serangan hebat dari Kerajaan Samudra Pasai yang dipimpin Sultan Mahmud Malikuzzahir. Dalam pertempuran dahsyat ini, Raja Po Dinok gugur dan dimakamkan di Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda.
Po Dinok memiliki saudara bernama Po Temo. Po Temo juga dikenal dengan nama Po Hiang. Putra Po Hiang inilah yang dikenl sebagai Raja Muda Sedia. Sultan Pasai Mengangkat Raja muda sedia menjadi raja Tamiang setelah kematian Po Dinok.
Pada masa itu, rakyat Tamiang masih menganut kepercayaan pagan atau haiden yaitu agama kepercayaan nenek moyang dengan menyembah sang hyang tunggal dan arwah-arwah para leluhur. Seiring berjalannya waktu di bawah pengaruh kerajaan Islam Samudra Pasai, Penduduk kerajaan Tamiang mulai mengenal dan memeluk agama Islam, termasuk raja dan seluruh rakyatnya. Raja muda Sedia tercatat sebagai Raja Islam tamiang pertama. Pemerintahan yang dijalankan dalam bentuk pemerintahan berbalai atau pemerintahan bersyariat.
Pada Masa Raja Muda Sedia Ibu kota Kerajaan Tamiang terletak di Benua (Kuala Simpang), yang kini dikenal sebagai Benua Raja. Orang-orang Pasai menyebut wilayah ini sebagai “KeurajÄ•un Teuming”, yang berarti kerajaan raja hitam pipinya, karena konon sang raja memiliki tanda hitam di pipi. Dari sinilah dipercaya asal mula nama "Tamiang". Meskipun ada dua versi asal usul kata Tamiang, masyarakat memegang teguh keyakinannya masing-masing tanpa perdebatan yang berarti.
Sejarah tamiang menggambarkan perpaduan sejarah, kekuasaan, dan peralihan budaya yang menjadikan Kerajaan Tamiang bagian penting dari warisan Nusantara. Raja muda sedia adalah raja yang paling dikenal dalam sejarah Tamiang, sehingga Wilayah Aceh Tamiang juga dikenal dengan nama Bumi Muda Sedia.
Cerita masa lalu memang selalu asyik untuk diceritakan, Apalagi Kisah Raja Muda Sedia di hubung-hubungkan dengan kehadiran Patih gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Tamiang atau Kesultanan Banua Tamiang, atau Benua Tunu merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan Perlak. Wilayah Kerajaan Tamiang ini berada di ujung paling timur dari Provinsi Aceh Darusalam saat ini. Wilayah Tamiang tersebut juga merupakan perbatasan antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara. Pada saat sekarang ini Kerajaan Tamiang berada dalam kawasan administratif dari Kabupaten Aceh Tamiang yang resmii berdiri pada tahun 2002 dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur. Kerajaan Tamiang atau Kesultanan Banua Tamiang juga merupakan kerajaan Islam yang berdiri di Aceh jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Tamiang ini pernah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Muda Sedia.
Nama dari Kerajaan Tamiang tersebut pada awalnya diambil dari sebuah kata "Tamiang" yang juga berasal dari kata "te-miyang". Nama tersebut diambil dari sebuah legenda yang berasal dari wilayah tersebut yang berarti tidak gatal-gatal atau kebal terhadap miang bambu. Hal tersebut juga berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh. Ketika masih bayi, raja tersebut ditemui dalam rumpun bambu Betong atau betung (istilah Tamiang ” bulooh ”). Raja yang menemukannya ketika itu bernama Tamiang Pehok, ia kemudian mengambil dan membawa bayi tersebut. Setelah dewasa kemudian ia dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar ” Pucook Sulooh Raja Te-Miyang “, yang artinya seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong tetapi tidak kena gatal atau kebal dari gatal-gatal.
Sebelum Islam masuk ke Tamiang, wilayah ini pada umumnya masih dalam pengaruh Hindu-Budha kala itu. Hal ini ditandai dengan adanya penjelasan tentang Kerajaan Tamiang yang terdapat pada Prasasti Sriwijaya.
Pada Awal abad ke-14 sekelompok da'i atau disebut juga dengan pengkhotbah Islam dikirim ke Tamiang oleh Sultan Samudra Pasai. Raja yang berkuasa di Tamiang ketika itu beranama Po dinok. Raja tersebut tidak mendukung kedatangan kelompok pendakwah Islam tersebut masuk ke wilayahnya. Ia kemudian menyerang kelompok tersebut, tetapi kalah dan akhirnya meninggal. Setelah penaklukan tersebut maka terjadi proses islamisasi masyarakat Kerajaan Tamiang pra islam menjadi masuk kedalam ajaran agama Islam. Proses islamisasi ini berlangsung secara damai sehingga terpilihlah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) sebagai raja pertama Kerajaan Islam Tamiang. Pada masa Raja Muda Sedia (1330- 1366 M) sistem pemerintahan Kerajaan Islam Tamiang adalah sistem pemerintahan berdasarkan pewarisan atau turun termurun. Struktur pemerintahan Kerajaan Islam Tamiang dipengaruhi oleh Samudera Pasai dan Aceh Darussalam. Bentuk peradaban yang dibangun oleh raja untuk Kerajaan Islam Tamiang bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat Tamiang. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan kekuatan militer dan pelayaran serta perdagangan yang menunjukkan bahwa kekuasaan para raja untuk tindakan yang mengarah kepada kemaslahatan rakyat Tamiang. Peradaban yang dihasilkan oleh Kerajaan Islam Tamiang tidak hanya di bidang militer dan perdagangan saja melainkan di bidang kebudayaan dan sarana ilmu pengetahuan seperti; meunasah, bahasa Tamiang, pakaian dan kesenian.
Kerajaan Tamiang pernah menjadi kerajaan terkenal yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Muda Sedia yang memerintah pada tahun 1330 -1366M. Pada saat itu wilayah kekuasaan kerajaan Tamiang meliputi kawasan Aceh bagian timur dengan batas-batas sebagai berikut: di sebelah utara berbatas dengan Sungai Raya atau Selat Malaka, di sebelah berbatasan dengan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kemudian di sebelah timur juga berbatasan dengan Selat Malaka dan di sebelah barat berbatas dengan Gunung Segama (Gunung Bendahara/Wilhelmina Berte). Akhir masa pemerintahan Raja Muda Sedia diwarnai dengan cerita tentang serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang. Setelah kondisi kerajaan kembali pulih, Muda Sedinu memerintah di sana dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pagar Alam, di sekitar Simpang Jernih. Selanjutnya Muda Sedinu digantikan oleh Raja Po Malat (1369--1412).
Pada sekitaran tahun 1500-an Kerajaan Tamiang mengalami berbagai macam kemunduran. Kerajaan Tamiang tersebut mengalami kemunduran disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, serangan yang dilakukan oleh tentara Majapahit terhadap wilayah Tamiang. Kedua, wilayah kekuasaan kerajaan yang selalu berpindah-pindah. Ketiga, kelemahan para penguasa Kerajaan Islam Tamiang. Keempat, merosotnya ekonomi Kerajaan Islam Tamiang. Dengan terjadinya kejadian-kejadian tersebut maka hal tersebut membuat berakhirnya puncak kejayaan Kerajaan Islam Tamiang pada tahun 1558 M.
Pada masa pemerintahan Raja Muda Sedia, Kerajaan Tamiang juga terbagi ke dalam dua kerajaan kecil yaitunya Kerajaan Karang dan Kerajaan Benua Tunu. Keberadaan Kerajaan Karang tersebut berawal dari diperolehnya pengakuan status kerajaan dari Sultan Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Walaupun saat itu terdapat dua kerajaan kecil namun kedua kerajaan kecil tersebut tetap tunduk dan patuh kepada Kerajaan Tamiang. Kedua kerajaan tersebut juga memiliki peninggalan yang sangat penting yaitunya istana. Kerajaan Benua Tunu memiliki sebuah istana yang dikenal dengan nama Istana Benua Raja. Istana tersebut saat ini berada di Desa Benua Raja. Lokasi istana ini hanya berjarak 5 kilometer dari pusat Kota Kuala Simpang. Saat ini Istana Benua Raja didiami oleh ahli waris kerajaan tersebut.
Monumen sejarah bangunan istana karang Aceh Tamiang yang di tempati oleh raja-raja tamiang (Foto: Fazzahra Dwi Cia) |
Foto: Fazzahra Dwi Cia |
Peninggalan lainnya ialah peninggalan dari Kerajaan Karang yaitunya Istana Karang. Istana Karang ini berlokasi di Gampong Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kerajaan Karang yang merupakan bagian dari Kerajaan Tamiang sendiri berdiri pada tahun !558M, dengan raja pertamanya yang bernama Fromsyah. Jika dilihat secara keseluruhan, Istana Karang tersebut mempunyai bentuk bangunan yang menunjukkan bangunan tersebut berarsitektur Eropa. Gaya arsitektur Eropa melekat pada bangunan Istana Karang. Hal tersebut dapat terlihat pada konstruksi beton, bata, dan semen yang menjadi bahan dasar konstruksinya.
Editor : Widya Dwi Putri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar