Bendera yang telah lusuh
itu pun
rupanya juga butuh
kemerdekaan
tak ingin hanya jadi pajangan
setiap kali tujuhbelasan
semegah apapun tiangnya
ditinggikan.
Hingga ketika paskibranya
lengah
dia mengudar temali
dan terbang bersama desir
angin pagi.
“Lihat, itu bendera yang
paling berani!”
kata anak-anak jalanan
yang tengah mandi di kali,
“Bendera macam itulah yang
patut kita hormati!”
Bocah-bocah itu memberi
hormat padanya,
penghormatan yang jauh
dari seremonial upacara.
“Wah, itu bendera yang
paling seksi.”
kata seorang pelacur yang
belum sempat berpakaian
di jendela apartemen sang
pelanggan.
Pelacur itu memberi
penghormatan
dengan sisa kehormatannya
yang penghabisan.
“Duhai, itu bendera yang
paling bendera!”
kata seorang penyair
kepada sekuntum bunga
yang tengah dia rayu untuk
membocorkan rahasia
tentang embun yang
membasahi kelopaknya.
“Hei, itulah bendera yang
paling tabah!”
teriak pimpinan
demonstrasi
yang nyaris menyerah
menuntut hak-hak buruh
kepada pemerintah.
“Halah, itu bendera faling
tak fenting!”
ujar pemimpin ormas garis
keras
yang biasa
mengkafir-kafirkan perbedaan identitas.
“Itu pasti bendera
imitasi!”
kata seorang petinggi
yang ahli di bidang IT
namun tak hafal lagu
kebangsaan sendiri.
“Kalau ada bendera, mau
buat apa?”
sahut pejabat yang enggan
menaikkan kecepatan internet
dan ketahuan mengikuti
twitter situs pornografi.
“Itu pasti bendera yang
tak lulus ujian nasional!”
olok wakil rakyat yang
gemar merumuskan kurikulum kontroversial.
Bendera itu akhirnya tiba
di sebuah gubuk derita
yang dalam tangisannya pun
tak berani bersuara.
“Inilah bendera yang kita
tunggu. Bendera yang kukibarkan dulu.”
kata seorang kakek renta
dengan hembusan napas
terakhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar